Header Ads

Gus Dur dan Rumi, Kisah Kepergian Dua Zahid

Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid. (ist)
Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid. (ist)
Suatu sore menjelang petang, tepatnya pada 30 Desember 2009, sekumpulan mahasiswa sebuah perguruan tinggi milik NU di Jakarta sedang melakukan kajian rutin mingguan membahas pemikiran tokoh-tokoh progresif dalam lintasan sejarah. Mereka saling silang pendapat berdasarkan referensi, bacaan, dan pemahaman masing-masing.

Di tengah lontaran-lontaran argumentasi, tetiba ada seseorang yang membuka pintu ruang diskusi. Orang tersebut tidak masuk ke ruangan, hanya membuka pintu dan terlihat kepalanya dan mengabarkan bahwa KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah meninggal dunia.

Mendengar kabar singkat tersebut, ruangan diskusi yang tadinya sarat lontaran-lonataran pendapat seketika mendadak hening. Tidak ada suara. Semua mahasiswa tersebut berada dalam tatapan kosong. Mulut-mulut mereka mendadak bagaikan terkunci sejenak.

Kepala mereka tertunduk. Tidak terasa butiran bening dari mata mereka meleleh meratapi kepergian sang humanis, orang yang dekat dengan siapa saja tanpa membedakan status dan golongan. Manusia yang sangat dicintai semua orang.

Masih dalam kondisi meratap, salah seorang pemimpin diskusi seketika tergerak untuk membimbing teman-teman membaca doa untuk Gus Dur. Usai berdoa, mereka bergegas dari tempat duduknya dan langsung menuju kediaman Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan. Mereka tidak sempat mengorek informasi lengkap soal kepergian cucu Hadratussyekh Hasyim Asy’ari itu.

Gus Dur meninggal setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Cipto Manungkusumo (RSCM) Jakarta. Baik dalam kondisi dirawat dan setelah kepergiannya, orang-orang tidak pernah berhenti mengunjungi Gus Dur.

Bahkan, padatnya pentakziah yang tidak terhitung jumlahnya dari berbagai daerah di Indonesia turut mengantar jenazah putra sulung KH Wahid Hasyim tersebut ke tempat peristirahatan terakhir di komplek makam keluarga Tebuireng, Jombang. 

Tebuireng saat itu tumpah ruah penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses dikebumikannya Gus Dur. Pesantren Tebuireng penuh dan sesak. Begitu juga jalanan utama di depan pesantren terlihat manusia berbondong-bondong ingin ikut mengantar Gus Dur.

Di luar sana, tidak hanya teman-teman Muslim yang memadati masjid, musholla, dan majelis-majelis untuk mendoakan Gus Dur, tetapi juga teman-teman dari agama Konghucu, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha turut meramaikan rumah ibadah masing-masing untuk mendoakan Gus Dur. Bahkan, mereka memajang foto Gus Dur di altarnya masing-masing.

Kini, pemikiran, gagasasn, tulisan, dan pergerakan sang zahid Gus Dur yang di batu nisannya tertulis, “Here rest a Humanist” itu tidak pernah kering meneteskan dan mengguyur inspirasi bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik ini. Begitu juga makamnya yang hingga sekarang terus ramai diziarahi.

KH Husein Muhammad Cirebon dalam buku karyanya Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (2015) mengungkapkan persamaan kondisi wafatnya Gus Dur dengan kepergian salah seorang penyair sufi masyhur, Maulana Jalaluddin Rumi dari Konya, Turki.

Kepulangan Rumi ke Rahmatullah dihadiri beribu-ribu orang yang mengagumi dan mencintainya. Saat itu, di antara mereka yang berduka ialah para pemimpin, tokoh-tokoh penganut Yahudi, Kristen berikut sekte-sektenya, segala madzhab-madzhab pemikiran, serta rakyat jelata yang datang dari pelosok-pelosok dan sudut-sudut bumi yang jauh.

Gambaran singkat dari kepergian dua zahid (manusia dengan maqom zuhud) yang disambut iringan ribuan orang dari berbagai penjuru serta didoakan pula dari segala penjuru menunjukkan sebuah cinta dan kasih sayang. Rasa tersebut mengkristal dari seluruh komponen masyarakat sebagai wujud cinta dari dua zahid kepada semua manusia ketika hayat masih dikandung badan.

Kiai Husein menuturkan, Gus Dur, Maulana Rumi, dan para wali Allah merupakan orang yang selama hidupnya diabdikan untuk mencintai seluruh manusia, tanpa pamrih apapun. Mereka memberikan kebaikan semata-mata demi kebaikan itu sendiri, bukan bermaksud kebaikan tersebut kembali kepada dirinya.

Cara hidup demikian diungkapkan dalam sebuah puisi indah gubahan sufi besar dari Mesir, pengarang Kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah As-Sakandari yang sering dikutip Gus Dur dalam banyak kesempatan:

Idfin wujudaka fil ardhil khumuli, fama nabata mimmaa lam yudfan laa yutimmu nitaa juhu (tanamlah eksistensimu di bawah tanah yang tidak dikenal. Sesuatu yang tumbuh yang tak ditanam, akan berbuah segar). (Fathoni Ahmad)
 

No comments

Powered by Blogger.